Solotrip Filipina (3) : "Pit Señor" dalam Malam Hingar Bingar

Suasana di openspace salah satu pusat perbelanjaan di kota Cebu yang disulap menjadi tempat EDM party


Dari pecakapan kami di WhatsApp, host-ku selama di Cebu memintaku untuk menemuinya di Pacific Mall, sebuah pusat perbelanjaan yang berada di pinggiran kota Cebu. Kesepakatan dibuat karena sebelumnya aku bertanya apakah ada money changer yang berada dekat dengan tempat tinggalnya. dan di tempat itulah ia tunjukkan ada satu money changer. Di sana, dia juga memintaku untuk sekalian menyiapkan dresscode  untuk mengikuti perayaan terbesar di kota terbesar kedua di Filipina ini dengan membeli kaus bertema sinulog. Aku pun menyetujuinya dan segera bertanya ke sopir jeepney apakah si sopir melewati tempat pertemuanku dengan teman lokal tadi. Si sopir hanya bilang akan menurunkanku ke persimpangan terdekat dari trayeknya dan memintaku untuk ganti transportasi umum lainnya untuk menuju Pacific Mall. Usai turun di persimpangan antara jalan A.C Cortes Ave dan Jalan S.B. Cabahung, aku melanjutkan perjalanan dengan menggunakan tricycle, alat transportasi seperti bentor di Indonesia namun memiliki trayek khusus. Murah saja, untuk perjalanan sejauh sekitar 1 km, si sopir hanya menagih ongkos sebesar 8 piso.

Tricycle
Sejenak setelah turun dari Tricycle yang kutumpangi, seorang laki-laki berperawakan bongsor melambaikan tangannya sambal meringis menunjukkan gigi-giginya kepadaku dari pintu luar Pacific Mall. Si kawan rupa-rupanya sudah paham betul dengan sosok tamu yang baru ia kenal dari obrolan singkat di aplikasi percakapan ini. Dia sepertinya harus benar-benar paham dengan bentuk manusia akan merepotkannya selama beberapa hari ke depan. Sedikit cengengas-cengenges mencoba memasang wajah bersahabat kuhampiri orang itu. Jul namanya, orang lokal yang yang menerima permintaanku melalui aplikasi couchsurfing untuk tinggal di apartemennya selama aku berada di Kota Cebu. 

Pacific Mall, Mandaue
Rupa-rupanya si kawan sangat antusias dengan perayaan sinulog kali ini. Entah, kukira perayaan kali ini cukup spesial bagianya sampai-sampai dia mengundang tiga orang couchsurfer di tempat tinggalnya. Tamunya adalah satu orang berkewarganegaraan Prancis, seorang lagi adalah aku, dan satu orang lainnya adalah couchsurfer lokal yang berasal dari Manila. Di Mall itu, pertama-tama Jul menunjukkanku tempat penukaran uang. Usai urusan tukar-menukar, digeretnya aku ke toko kaus yang menjual berbagai macam desain dan corak dengan tema serupa. Sinulog! Dia memintaku untuk membeli setidaknya dua kaus sebagai dresscode kami untuk menghadiri pesta kaum muda yang berlangsung di malam ini dan juga parade jalanan sinulog yang akan kami ikuti di keesokan harinya. Walaupun awalnya aku pikir-pikir juga untuk membeli dua kaus sekaligus. Malas sekali untuk menambah beban ranselku, namun pada akhirnya kubeli juga. Ya itung-itung tidak ada salahnya membuat senang tuan rumah dan sesekali ikut all out dalam sebuah perayaan yang mustahil bakal kuikuti setiap tahunnya.

Saat matahari terbenam, kami baru sampai di apartemen. Di sana sudah ada si anak prancis yang gegoleran santai di lantai di pojokan kamar. Kusapa sekenanya karena masih kikuk di rumah orang ditambah pula bertemu dengan orang baru lagi. Jul segera menyuruhku untuk bergegas bersih-bersih badan karena setelah ini agenda kami adalah berkunjung ke tempat temannya yang letaknya berada tidak jauh dari tempat kami untuk makan malam bersama. Usai kemas-kemas, memastikan memakai dresscode yang "seharusnya", dan "dandan" alakadarnya, kami bertiga pun berangkat menuju tempat Carol, teman host-ku yang akan menjamu kami dengan masakannya.

Di halaman depan mini-apartemen yang dimilikinya, Carol menyambut kami dengan senyum lebar seraya mengangkat terbuka kedua tangannya dan langsung menelangkupkan keduanya ke badan bongsor Jul. Walau sedari awal aku sudah tau kalau kedua tangan wanita berbadan kecil dan ramping itu tidak akan pernah terkait satu sama lain di lingkar badan bongsor si Jul, aku tidak memprotesnya sama sekali. Seperti kakak adik kandung saja kulihatnya mereka berdua ini, hangat dan dekat sekali hubungan di antara keduanya. Usut punya usut ternyata Jul pernah lama tinggal di mini apartemen tiga lantai yang dimiliki Carol. Baru-baru saja dia pindah karena alasan yang saya kurang tau dan nggak se-kepo itu ingin tau. Sejurus kemudian Carol menjulurkan tangannya ke arah kami untuk menyalami aku dan Gigi, si cowok Prancis tadi. Dia langsung mempersilakan kami untuk duduk melingkar di sebuah gazebo di halaman depan mini-apartemen yang lengkap dengan kompor dan alat memasak di sampingnya. Suka sekali aku dengan suasananya. Tempat masak di depan tempat tinggal, tempat makan bersama di area terbuka beratap jerami. hangat sekali kesannya. Carol langsung menata hidangan yang sudah disiapkannya dan memotong-motong ayam panggang utuh yang kami beli sebelumnya di dekat apartemen Jul.

Sebelum mulai makan, tiba-tiba Carol memanggil-manggil seseorang ke arah rumah yang berada di hadapan gazebo kami. Seorang anak laki-laki kecil berparas tampan dengan kulit cerah yang kutaksir berumur 6 tahun datang dengan gembiranya menyerbu ke arah suara pemanggilnya berasal. Didekapnya Carol dan digelayutinya dengan manja wanita itu dari jatah dudukan bambu yang tersisa untuknya. Jul menyapa anak kecil itu dengan gembiranya. Carol pun mulai buka mulut mengenalkan sosok anak kecil tersebut yang tidak lain tidak bukan adalah buah hatinya. Oh, aku terperangah. Kukira wanita yang duduk di hadapanku ini masih lajang, ternyata perkiraanku salah. Dia bercerita jika anak itu adalah buah dari pernikahannya dengan seorang warga negara perancis yang ia temui di Filipina. Tapi entah mengapa sekarang sang suami sudah tidak bersamanya lagi. Carol bercerita ia hanya diwarisi tanggung jawab untuk merawat dan menjaga bangunan semi-apartemen yang sekarang ia sewakan. Entah, bagaimana statusnya. Aku pribadi tidak ingin meneruskan perbincangan yang sudah masuk ranah pribadi ini.

Usai menyelesaikan makanan kami berupa nasi, salad, ikan dan tidak ketinggalan ayam panggang yang kami bawa, kami bergegas siap-siap menuju pusat kota untuk ikut bergabung dengan anak-anak muda lainnya dalam perayaan malam sinulog. Carol tidak mau ketinggalan untuk ambil bagian. Ia telah mulai siap-siap dan dandan di saat kami baru menyelesaikan separo dari makanan di piring kami. Bersama-sama kami menuju jalan raya untuk mencari Jeepney yang akan mengantarkan kami ke Ayala Center. Saat kami tiba di jalan raya dekat dengan semi-apartemen Carol, tiba-tiba datang seorang pemuda yang langsung menyapa Jul dari seberang jalan. Dialah yang sebelumnya kubilang tamu lainnya yang akan menginap di apartemen Jul malam ini. Jolo namanya, si couchsurfer lokal asal Manila yang sepertinya telah kenal Jul sejak lama.

Ilustrasi bagian dalam jeepney
Tidak berlama-lama kami langsung menghentikan jeepney yang sedang melaju ke arah Ayala Center. Entah, di perjumpaanku yang ketiga kalinya ini dengan jeepney, aku mulai suka dengan transportasi massal ala Filipina ini. Selain si sopir tidak terlalu suka ngetem seperti angkot yang ada di Indonesia, formasi tempat duduk yang mengharuskan penumpangnya saling berhadap-hadapan ini cukup membuat suasana di dalam angkutan ini terasa hangat. Selain memang karena pada dasarnya orang filipina suka saling bercakap-cakap walaupun dengan orang yang baru dikenal, mekanisme pembayaran di dalam angkutan ini menurutku efisien sekali. Jika aku duduk di paling buritan jeepney dan beberapa saat lagi akan turun, maka aku cukup berkata turun di mana dan memberikan uang ongkos ke orang yang berada di sampingku yang secara otomatis uang itu akan mengalir dengan sendirinya ke sopir. Jika ada kembalian, uang kembalian akan diserahkan sopir ke orang yang duduk di belakangnya dan uang itu akan kembali mengalir dari tangan ke tangan dengan sendirinya ke orang yang berhak atas kembalian. Sungguh unik. Tapi ini hanya berlaku jika sopir tidak membawa seorang kenek. 

Sekitar pukul setengah sembilan malam, kami berlima sudah sampai di daerah Ayala Center. Sudah banyak muda-mudi di sini. Rata-rata memakai atasan berwarna putih dengan pernak-pernik bertema sinulog. Satu Blok jalan ditutup untuk menampung kerumunan manusia yang membludak di malam itu. Kami berjalan beriringan menuju ke area tanah lapang yang di ujung jalan sana telah berdiri panggung musik dengan instalasi lampu berwarna-warni. Telah ada penampilan dari seorang DJ yang berdiri di atas panggung yang memainkan electronic dance music dan mengajak semua orang untuk ikut menari merayakan malam sinulog. Para pengunjung jingkrak-jingkrak kegirangan dan terbahak-bahak bersama kawan-kawan mereka. Namun tidak dengan kami. Karena kami datang agak sedikit telat, kami tidak mendapatkan posisi terbaik di tempat itu. Jolo pun berinisiatif untuk pindah ke tempat lain yang mengadakan hal serupa. Jolo sebagai pemuda metropolitan Manila rupanya paham betul seluk-beluk dunia pesta yang ada di Kota Cebu. Memang di malam sinulog ini, pusat-pusat perbelanjaan dan pusat-pusat keramaian di sini banyak yang mengkonversi public space yang dimilikinya untuk menjadi arena ajojing bagi kawula muda. Hal inilah yang menjadikan jalanan di Kota Cebu pada malam ini begitu tumpah ruah oleh manusia.

Bonceng dua di habal-habal
Jul segera mencarikan habal-habal, sebutan ojek di filipina. Sudah tidak ada jeepney yang lewat karena sudah mulai banyak jalan-jalan yang diblokir untuk kepentingan pesta-pora para warga. Kami yang berlima diangkut oleh tiga habal-habal. Walhasil ada dua habal-habal yang mengangkut dua orang secara bersamaan. Termasuk aku yang duduk bersama Carol. Awalnya terasa menyenangkan, namun lama-lama perjalanan itu begitu menyiksa. Bagaimana tidak, jok motor yang tidak terlalu Panjang itu harus dicukup-cukupkan untuk diduduki tiga orang dewasa sekaligus! Belum lagi si sopir yang sepertinya benar-benar tidak mau mengurangi jatah duduknya untuk lebih geser ke depan. Ditambah ban motor si bapak ini sepertinya kurang angin pula. Jadi saat melewati jalan sedikit bergelombang, terasalah kerasnya roda itu sampai ke tulang duduk. Puncaknya, perjalanan itu bukan perjalanan yang sebentar. Bayangkan saja bagaimana rasanya menempuh perjalanan seperti ini dengan jarak sepanjang lima kilometer dengan kondisi jalan yang padat. Terus naik ngilu, turun pun tak mau.

Aku turun dari habal-habal dengan kondisi selangkangan dan kedua paha yang sudah kesemutan. Tidak langsung sampai, kami turun agak jauh dari tempat yang sebenarnya kami tuju. Alasannya satu, jalanan super macet sampai motor-pun benar-benar tidak bisa bergerak. Luar biasa memang hingar bingar malam ini. Jika kubandingkan, mungkin kondisinya sama dengan saat malam tahun baru di Indonesia. Kami pun berjalan beriringan menuju tempat yang aku sendiri tidak tau tempat seperti apa.

berfoto di depan City Time Square, Mandaue
Tibalah kami di sebuah pusat perbelanjaan dan kuliner yang menamakan dirinya dengan City Time Square. Dari luar kondisi area open space yang digunakan sebagai tempat menikmati EDM belum begitu padat, walau sudah cukup ramai. Mungkin karena tempat ini berbayar untuk masuk. Aku lupa berapa yang harus kubayar untuk masuk ke tempat ini. 300 piso seingatku. Dengan harga segitu, pengunjung juga mendapatkan gratis minuman beralkohol yang tiketnya bisa ditukarkan di booth minuman di area dalam. Semua rombonganku langsung menukarkan tiket itu dengan minuman yang dijanjikan, kecuali aku. Rasanya sedikit awkward memang karena aku sendiri yang tidak mau minum di grup ini. Sial, kukira Jul, orang yang potensial untuk tidak meminum minuman beralkohol, tidak akan menukarkan tiketnya untuk segelas minuman haram itu. Ternyata aku terlalu mudah menilai orang hanya dari agama yang dipeluknya. Jul sendiri yang pada akhirnya mengaku, dia hanya seorang muslim yang tidak terlalu baik dalam praktik sehari-hari. beruntung saja tiket yang kumiliki masih punya nilai untuk ditukarkan dengan sebotol air mineral. Lucu saja, bagaimana aku bisa bertahan tanpa minum jika harus ikut jingkrak-jingkrak sampai dini hari nanti. 

Sesaat setelah penukaran tiket dengan minuman
Pukul setengah sepuluh malam suasananya masih kalem. Pengunjung hanya menikmati dentuman musik EDM dengan memanggut-manggutkan kepalanya naik turun sambal berbincang-bincang dengan teman-temannya. Mungkin karena DJ yang memainkan adalah DJ lokalan saja, entah mungkin dari tetangga RT Mall tersebut. Belum begitu menarik antusias pengunjung untuk berjingkrak-jingkrak ria. Jolo mengambil kesempatan yang masih cukup lengang itu untuk menerobos masuk untuk mengambil tempat terbaik sampai berada benar-benar di depan panggung. Empat orang lainnya mengekor mengikutinya dari belakang. Satu jam pertama kami habiskan dengan cara yang sama seperti yang dilakukan para pengunjung lain. memanggut-manggutkan kepala naik turun.

Saat suasana masih lengang
Sekitar pukul setengah sebelas malam, suasana mulai meriah dengan bergantinya DJ yang tampil. Entah sepertinya kali ini adalah DJ yang berasal dari Ibu Kota, lebih banyak yang antusias mengikuti. suasana mulai memanas dengan mulai banyaknya pengunjung yang memadati area joget dan mulai menari-nari yang kunilai tidak karuan sekali koreografinya. Pengunjung teriak-teriak menimpali seruan seorang laki-laki yang berdiri bermain musik di atas panggung. Jujur saja, ini kali pertamaku mengikuti acara semacam ini. Ditambah lagi dengan manusia-manusia yang baru kukenal belum genap satu hari. Untung saja tidak dilarang untuk teriak-teriak di tempat semacam ini. Bagiku, teriak-teriak adalah media ampuhku untuk melepaskan stress yang telah kupraktikkan sejak duduk di bangku SMA. Aku ikut berteriak dan meladeni tarian teman-teman baruku dengan koreografi yang lebih tidak karuan dari yang lain.

Suasana saat tepat pukul 24.00 waktu setempat
Saat jam digital berlatar belakang gambar Santo Nino -figur dari bayi kristus- yang berada di bagian teratas panggung telah menunjukkan pukul dua belas malam, suasana malam semakin semarak dengan dinyalakannya kembang api dari balik panggung dengan tiada henti. DJ pun berganti dengan seorang laki-laki berkulit putih. Pengunjung semakin menggila berteriak, berjingkrak, menari tidak karuan rupanya. Semua serempak tiada henti meneriakkan kata-kata "Pit Señor", kata-kata yang sering kubaca dan kudengar sejak kedatanganku di Cebu. Rupa-rupanya baru kuketahui kata-kata itu bermakna panggilan kehormatan atas bayi kristus bagi warga Cebu. Kukira hal ini menandakan puncak dari pesta musik EDM kali ini. Namun dugaanku salah. Kutunggu hingga satu jam lamanya sampai pening sekali kepalaku akibat suara musik yang tiada hentinya berdentum keras. Tubuhku pun belum cukup istirahat sejak dari kemarin. Aku pamit ke teman-temanku untuk pergi ke tempat yang lebih sepi. Aku menerobos lautan manusia dan berjalan menuju area pintu masuk. Kutunggu teman-temanku  di sana sambil duduk-duduk di pembatas taman.

Pukul dua dini hari, secara berangsur-angsur kumpulan manusia ini keluar dari arena. Walaupun kulihat dari kejauhan, di panggung sana sang DJ masih saja asik memainkan alatnya yang kali ini ditemani oleh wanita-wanita berpakaian seksi yang menari-menari di tangga yang ada di samping kanan kirinya. Beberapa saat kemudian, akhirnya muncul juga teman-temanku sambil tertawa terbahak-bahak menghampiriku. "Menyerah juga akhirnya kalian", gerutuku. Mereka hanya terkikih menimpali gerutuanku. 

Jolo rupanya kurang paham kondisiku yang sudah pusing tidak karuan. Alih-alih mengajak balik ke apartemennya Jul, dia malah mengajak kami untuk makan di restoran dengan fasilitas karaoke yang buka sampai pagi. Memang, lapar juga perutku sebelumnya. Tapi pening di kepalaku sudah begitu hebatnya sampai rasa lapar pun sudah tak tau entah ke mana. Aku sempat minta untuk pulang saja, namun aku kalah suara. Semua menginginkan mampir makan dulu, kecuali aku. Mau tidak mau aku mengikuti mereka, yang pada akhirnya aku pun ikut makan juga di sana. Di ruang makan yang tersekat-sekat, semua cerita ini itu, haha-hihi nggak jelas sambil sekali-sekali nyanyi lagu-lagu lawas yang aku sendiri tidak tau lagunya siapa. Dan kegiatan menyiksa ini berlangsung sampai pukul setengah empat pagi. Walhasil kami baru sampai apartemen Jul dan menutup kegiatan kami malam itu pas waktu subuh.

My memory of January 16th 2016

Komentar