Negara yang satu ini memang sudah lama ku incar cap paspor-nya. Bukan sekedar alasan klise tentang koleksi bubuhan stempel tinta dari petugas imigrasi. Alasan utamaku ingin mengobati rasa penasaran yang sudah lama bercokol menggentanyangi isi kepala dari beberapa tahun belakangan ini. Apalagi ditambah dengan iklan wisata yang akhir-akhir ini sering sekali mereka gaungkan dengan slogan yang cukup Provokatif sekali bagiku, "It's more Fun in The Philippines". "Ada apa sih di Filipina? berani-beraninya mengklaim segalanya lebih fun di Filipina". Bayangan awalku, negara ini adalah negara maritim yang ukurannya hanya sepertiga dari luas total wilayah Indonesia. Sama saja dengan Indonesia pikirku, nothing special.
hari itu pun datang, seminggu setelah Ujian Semester yang cukup menyita banyak waktu dan pikiranku. Susah buatku menyisipkan waktu untuk sekedar membuat persiapan sebelum keberagkatan diantara rutinitas harian, kerja dan kuliah. kerja dari pagi sampai sore lanjut dengan mempelajari angka-angka di bangku kuliah di malam harinya. Walhasil, itenerary yang biasa kubuat sebelum bepergian jauh, untuk kali ini tidak rampung, sepertiganya pun tidak. Grogi, apalagi ini kali pertamaku memutuskan untuk bepergian seorang diri ke luar dari batas wilayah aman tanpa pedoman yang memadai. Sangat grogi.
Uang sudah kutukar ke dolar Amerika. rate yang berlaku saat itu adalah rate teburuk untuk mata uang rupiah, Rp13.950,- per 1 USD. Sial! (walau sekarang lebih buruk lagi). Tapi apa mau dikata, tiket sudah di tangan, mau dibatalkan juga sayang. tiket promo tidak datang sewaktu-waktu. Hanya untuk berjaga-jaga, kubawa juga atm sekunder dan kartu kredit yang jarang sekali kupakai.
Bodoh tidak kepalang tangung. Berkali-kali aku menjebak diriku sendiri dalam sebuah permainan gambling. Mungkin karena cara berpikirku yang selalu menganggap bahwa semua hal akan berjalan sesuai apa yang sudah kuperkirakan. 1 jam 40 menit sebelum jadwal keberangkatan, aku baru berangkat dari kos ku di Gubeng ke bandara Juanda yang jarak diantara keduanya kuperkirakan adalah 15 km. Itungan kasar, 40 menit menurutku adalah waktu yang cukup. Namun cuaca berkata lain. baru 5 menit di atas jok sepeda motor sopir G*jek, gerimis sudah mulai turun. gerimis makin lama makin rapat. Sial, si sopir tidak mau mengeluarkan mantelnya untuk sekedar menahan rintikan air supaya tidak sampai membasahi penumpangnya. lebih sial lagi, traffic yang tadinya padat lancar, perlahan merayap. Alamat....!!! 30 menit sebelum jadwal keberangkatan, aku baru sampai di terminal 2 Juanda. sudah siap-siap balik saja, pun juga soal tiket yang hangus. Memaksa hati untuk bilang ikhlas seraya membodoh-bodohkan diri sendiri. Seolah meberikan tausyiah dengan merapal mantra-mantra cacian ke diri sendiri, komat-kamit nggak jelas mengingat aturan maskapai bahwa 1 jam sebelum keberangkatan internasional, Counter check-in akan ditutup. Namun ternyata nasib masih memberikan celah. Begitu sampai di counter check-in, adrenalinku yang semula terpacu perlahan-lahan merelaksasi dan menarik simpul-simpul bibirku untuk girang. Jadwal keeberangkatan pesawat Surabaya-Kuala Lumpur delay 1 jam. Beruntung sekali, bukan? Tak henti-hentinya ku bilang alhamdulillah. Benar, alhamdulillah.
Jadwal penerbangan yang semula dijadwalkan berangkat dari Juanda, Surabaya pukul 20.30, mundur menjadi jam 21.30 WIB. Walhasil pesawat tiba di Kuala Lumpur Internatioal Airport 2 pun juga semakin malam. jam 01.00 waktu setempat, pesawat baru mendarat. Beruntung pesawat lanjutan yang berangkat ke Cebu, kota pertama yang kukunjungi di Filipina, baru berangkat tengah hari di keesokan harinya. jadi masih banyak waktu bagiku untuk sekedar istirahat dan menggelandang di bandara yang memang didesain untuk menampung "gelandangan" dari berbagai macam negara.
Cari colokan, tukar ringgit secukupnya, dan beli makan untuk sekedar mengisi perut agar tidak kosong. Niat hati ingin segera tidur begitu sampai di terminal. Mata baru terpejam setelah selesai sholat shubuh. Menggelandang, tidur di lantai berkarpet bareng beberapa orang berwajah tak asing khas asia tenggara, dan beberapa bule kere. Menyusul mereka, aku pun lelap.
Belum genap dalam lelap, buru-buru aku tergelagap. Kaget dengan tangan seseorang yang menepuk betisku dengan irama memburu. Buru-buru aku bangun, pasti ulah petugas bandara pikirku. Ternyata bukan. Setelah mataku terbuka sempurna, kupandang seorang wanita yang sudah berumur, berperawakan ceking dan berparas khas india tamil. Dia menawarkanku sesuatu dari tas plastik yang ada pada tentengannya. Setengah sadar aku kebingungan mencerna ucapannya. Bingung dengan bahasa Melayu beraksen tidak seperti yang biasa kudengar. Oh, setelah beberapa kali aku bertanya, baru aku tahu apa yang dia maksud. dia ternyata penjaja nasi bungkus, Nasi Lemak sederhana lebih tepatnya kubilang. Agak terheran-heran aku awalnya. Kok bisa di dalam bandara sekelas KLIA2 ada penjaja makanan berseliweran di dalam area terminal. Namun nominal harga yang ia tawarkan buru-buru membungkam keherananku. Sebungkus nasi lemak ia jual dengan harga 2,5 ringgit, cuma 7.500 rupiah kalau kukonversi ke nilai uang negara tercinta. Langsung kubayar, dan ia pun tanpa bilang apapun langsung pergi begitu saja usai menerima uang pembayaranku. Lekas kubuka bungkusan itu. Dan benar saja, apa sih yang bisa diharapkan dari makanan berharga 2,5 ringgit di bandara? nasi lemak itu cuma berisi irisan telur separoh, dan sambal yang berisi beberapa ikan teri didalamnya. Semua termaklumi.
Pesawat tujuan Cebu akan berangkat pukul 10.40 waktu KL. jam 9 pagi aku sudah mulai masuk ke terminal keberangkatan. biar bisa leyeh-leyeh santai di terminal keberangkatan maksudku. sampai di longue dekat dutyfree, aku bertemu dengan seorang wanita berpenampilan agak lusuh yang mengaku berasal dari Indonesia. Dia yang mengawali untuk menghampiriku. Awalnya sok akrab dan memperkenalkan dirinya berasal dari Medan. Usai basa-basi, ternyata si wanita ini punya maksud lain. dengan dalih masih satu saudara sebangsa setanah-air, ia sama sekali tak sungkan meminta uang rupiah yang akunya untuk ongkosnya pulang dari Kuala Namu ke kota Medan. Ok, dengan dalih yang sama, kuberinya dia uang seikhlasku. Ada satu hal yang membuatku berpikir ulang kalau dia adalah benar saudara setanah-airku. Ibarat pribahasa, dikasih hati minta jantung, alih-alih ia beterima kasih, justru minta lebih. Bajigur, gerutuku dalam hati. Tanpa pamit, tanpa menoleh, aku jalan saja meninggalkan dia. Semoga saja perlakuanku mampu menyadarkannya tentang apa itu arti dari sebuah kata "saudara".
Pesawat berangkat tepat waktu. Harapanku hanya satu. Semoga aku pulang dengan membawa cerita yang menarik untuk orang-orang terdekatku.
My Memory of : January 16th 2016
Komentar
Posting Komentar