Figur Kartini di samping Museum Kartini, Jepara |
Bicara mengenai Kartini,
jujur pada saat masih duduk di bangku sekolah dasar, pelajaran sejarah yang
mengulas tentang beliau bagi saya adalah materi yang paling susah untuk dicerna.
Kesan yang ditimbulkan adalah kegamangan. Bukan karena apa, saat itu otak yang
masih berumur belum genap sepuluh tahunku masih memaknai sebuah perjuangan
adalah soal duel, pertempuran dan segala sesuatu yang sifatnya kontra dengan seluruh
bangsa asing yang saya sama ratakan semuanya adalah penjajah. Sementara Kartini
diceritakan hanya melakukan korespondensi alias surat menyurat dengan
teman-temannya yang kebangsaannya-pun juga rata-rata dari belanda. Ditambah
lagi buah-buah pemikirannya yang saat itu kunilai hanya melulu mengkritisi soal
kungkungan budaya pribumi, bukan sebaliknya. Ini sama sekali berbeda dengan
gambaran perjuangan dari pahlawan-pahlawan lain seperti Cut Nyak Dien yang
diceritakan dengan gagahnya memimpin Inong Bale untuk bertempur melawan belanda
yang sampai membuat belanda kewalahan dalam perang aceh. Atau perjuangan Marta
Christina Tiahahu seorang remaja maluku yang berjuang mengangkat senjata
bersama ayahnya sampai titik darah penghabisan. Pemikiran ini kubawa hingga
duduk di bangku kuliah, lebih karena ketidaktertarikanku soal sejarah.
Bagian dalam Museum Kartini, Jepara
Hingga datanglah suatu masa yang tanpa disengaja menjadi titik balik persepsiku
tentang sosok wanita pribumi yang namanya abadi dalam sebuah gubahan lagu wajib
ini. Saat itu saya berkesempatan mampir ke kota Jepara setelah balik dari
Kepulauan Karimunjawa untuk berlibur. Tujuanku hanya satu saat itu, menemui
kawan lama yang pernah tinggal satu kos di jaman masih kuliah. Bukan diajaknya
saya untuk langsung mampir ke rumahnya, namun si kawan ini mengajakku pergi ke
museum Kartini yang letaknya tidak jauh dari tempat kami bertemu, alun-alun
Jepara.
Di museum yang
berukuran tidak begitu luas, dipajang barang-barang peninggalan Kartini dan
keluarganya. Karena memang beliau adalah keturunan bangsawan, maka banyak pula
perabot-perabot yang dipajang adalah dari terbaik di masanya. Ada set kursi,
set gamelan, lukisan, hiasan-hiasan rumah, perabot kamar sampai foto-foto
beliau dan keluarga. Dan tidak ketinggalan nukilan-nukilan kata-kata Mutiara
beliau serta beberapa surat korespondensi beliau yang menjadi penanda atas
“perjuangan” beliau yang selama ini banyak menyimpan keambiguan dalam otak
saya. Dari terbatasnya informasi di museum itu, ditambah dengan informasi yang
ternyata kawan saya ini lumayan banyak tau juga tentang sosok Kartini, banyak
hal-hal yang cukup menarik perhatian saya dan sedikit-demi sedikit meretakkan
cangkang penolakan saya terhadap kepahlawanan beliau. Apa saja?
Display Perabot di Museum Kartini dan lukisan orang-orang berpengaruh di kehidupan Kartini Ki-Ka : Sosrokartono, Ario Tjondronegoro IV, R.M. Sosroningat, dan Ngasirah |
Display perabot dan artefak-artefak lain tentang bernilai sejarah dari Kabupaten Jepara |
Sosok sang kakak, Sosrokartono |
Hal yang paling
menarik perhatian saya adalah tentang keluarga beliau. Bukan menyoal silsilah
yang konon katanya bersambung hingga trah majapahit, namun lebih kepada pola
pikir dan kepribadian orang-orang yang memiliki pengaruh besar terhadap sosok Kartini.
Adalah teman saya yang bilang bahwa apa yang diperjuangkan Kartini adalah
sebuah hal yang “direncanakan” oleh kakak laki-laki beliau yang bernama Sosrokartono.
Jujur saya terkaget-kaget dengan informasi tentang sosok satu ini. Dikabarkan,
dia adalah manusia polyglot, alias manusia yang mampu bertutur dalam banyak
bahasa.
Diberitahukan bahwa sang kakak yang berjuluk “Si Jenius Dari Timur” ini
menguasai 26 bahasa asing dan 10 bahasa lokal nusantara. Gila nggak sih? Di
jaman modern seperti ini saja sepertinya orang yang memiliki kemampuan yang
sama sulit sekali untuk dicari. Memang kemampuannya ditunjang juga karena dia
berkesempatan untuk mengenyam pendidikan di belanda yang tentu memudahkan
beliau untuk mengenal Bahasa asing. Dialah pemuda pribumi yang konon adalah
yang pertama mendapatkan kesempatan untuk sekolah di eropa. Sosrokartono adalah
figur utama yang membentuk Kartini untuk berwawasan lebih luas dari seorang
gadis pribumi yang hanya mengenyam sekolah tingkat dasar hingga umur 12 tahun.
Di masa pingitan, Sosrokartono lah yang menggelontor Kartini dengan
bacaan-bacaan dan buku-buku dari dunia barat. Sang kakak inilah yang kelak
menjadi role model dari Kartini.
Salah satu tulisan Sosrokartono (Museum Kartini, Jepara) |
Foto Kartini dengan ayah dan saudara-saudara perempuannya (Museum Kartini, Jepara) |
Di lain sisi, setelah
saya baca-baca lebih lanjut sepulang dari museum tadi, rupa-rupanya jiwa
cendikia dalam sosok Kartini tak lepas dari jasa sang kakek, Pangeran Ario
Tjondronegoro IV yang merupakan salah satu bupati yang pertama kali mendidik
anak-anaknya dengan cara barat, termasuk mengajarkan bahasa belanda. Hal inilah
yang kemudian juga dicontoh sosok sang ayah, R.M. Sosroningrat untuk mendidik
anak-anaknya termasuk Kartini. Walaupun pada akhirnya sang ayah masih belum
bisa melepas segala hal terkait dengan budaya jawa terkait keharusan-keharusan
yang diterima oleh wanita jawa, setidaknya beliau telah membuka beberapa simpul
yang mulai melonggarkan ide dan pemikiran putri-putrinya.
Foto Kartini di Museum Kartini, Jepara |
Dari sisi ibu, Kartini
dilahirkan oleh seorang wanita dari kalangan agamis non bangsawan, M.A
Ngasirah. Status bukan bangsawan ini pula yang pada akhirnya menjadikannya
hanya berstatus sebagai selir saat Sosroningrat diangkat sebagai Bupati.
Pemerintah kolonial mensyaratkan seorang calon Bupati harus beristri dari kalangan bangsawan. Sehingga
Sosroningrat memperistri RM Moerjam, putri bangsawan dari Madura. Status
sebagai selir, mebuat sosok ibu Kartini tidak memiliki hak lagi sebagai ibu
bagi Kartini, bahkan hanya sekedar untuk dipanggil “ibu”. Sosok ibu yang
berasal dari kaum agamis dengan segala keterbatasan yang dihadapi sebagai ibu
ini saya kira pada akhirnya turut menyumbang gagasan-gagasan Kartini untuk
mendobrak aturan-aturan yang masih banyak menyudutkan kaum wanita di jamannya.
Berlanjut menambah
kekaguman sekaligus rasa penasaran saya terhadap sosok Kartini adalah setelah
tayangnya film Kartini di tahun 2017 yang diperankan secara apik dan epik oleh
Dian Sastro. Saya mulai mengenal 3 serangkai kakak beradik yang berjuluk “Daun
Semanggi van Jepara”. Ialah Kartini dan dua orang adiknya, Roekmini dan Kardinah
yang memiliki pemikiran yang sudah sangat terbuka di jamannya. Rupa-rupanya
keluarga ini telah membuat saya terkagum-kagum dengan sosok-sosok di dalamnya.
Walau secara cerita dalam film ini masih banyak alur yang saya pikir terlihat
terlalu didramatisir, namun secara pokok pikiran, saya rasa masih cukup sejalan
dengan benang merah jalan hidup Kartini. Dari film ini pula tokoh-tokoh yang
berada di lingkungan Kartini satu per satu membuat titik-titik yang merangsang
rasa penasaran saya lebih jauh tentang Ibu bagi wanita Indonesia ini.
Berangkat dari rasa penasaran yang lebih, saya pun akhirnya mencoba untuk mengenal lebih dalam dengan membaca literatur yang berhubungan dengan beliau. Tidak secara langsung membaca kumpulan surat-surat Kartini untuk berkorespondensi dengan teman-temannya, namun melalui sebuah novel yang juga bersumber dari hal yang sama. Melalui novel tulisan Eyang Pram (Pramoedya Ananta Toer) berjudul “Panggil Aku Kartini Saja”, banyak informasi yang bisa diambil dengan cara penyajian yang lebih mudah dipahami. Walau pada novel tersebut pun juga disajikan terjemahan beberapa surat Kartini kepada kawan-kawannya seperti kepada Abendanon, Ovink Soer, dan Stella Zeehandelaar.
Dari buku terebut ada
beberapa hal yang menjadi pokok yang akhirnya menjadi konklusi saya terkait
perjuangan Kartini bagi bangsa Indonesia, yaitu :
Contoh tulisan Kartini (Museum Kartini, Jepara) |
Pertama, melalui
usahanya berupa tulisan, Kartini membuka mata tokoh-tokoh di eropa (belanda)
terkait kondisi masyarakat di hindia belanda. Kartini sempat membuat tulisan
terkait adat istiadat dan budaya pribumi di hindia belanda untuk surat kabar
berbahasa belanda. Dan juga berkorespondensi dengan sahabat-sahabatnya di
belanda terkait kondisi masyarakat jawa yang berdiri di atas dua sistem feodal,
yakni kungkungan atas pemerintahan pribumi, juga kungkungan dari pemerintah
Hindia Belanda itu sendiri. Yang kemudian pada akhirnya surat-surat ini
dikumpulkan, dicetak dan diedarkan lebih luas di kalangan orang Belanda di kala
itu;
Kedua, Kartini dengan
buah pemikirannya yang tidak jauh dari asas kebebasan yang banyak terilhami
dari karya-karya Multatuli, telah menjadi tokoh pribumi yang menggaungkan suara
masyarakat Hindia Belanda di jamannya kepada tokoh-tokoh liberal di Belanda
yang sudah mulai banyak menentang kebijakan Kerajaan Belanda di negeri-negeri
jajahan. Hal ini membawa pengaruh yang besar kepada kebijakan politik Kerajaan
Belanda di negeri jajahan di kemudian hari yang pada akhirnya menghapuskan
sistem tanam paksa dan menetapkan praktik politik etis;
Ketiga, Kartini
sebagai pendobrak pemenuhan atas hak mendapatkan Pendidikan yang sama bagi kaum
pribumi terkhusus bagi perempuan-perempuannya. Di jaman itu pendidikan hanya
diperuntukkan bagi kalangan Belanda totok, Indo ataupun pribumi yang terbatas
pada anak-anak petinggi pribumi. Walau sempat mendapat penolakan dari para
pangrehpraja, bersama dua adiknya -Roekmini dan Kardinah- Kartini tetap
berinisiatif untuk memberikan pengajaran kepada perempuan-perempuan pribumi;
Keempat, Kartini rela
berkorban terhadap prinsip yang telah lama dipegangnya demi mendapatkan
kesempatan untuk mendidik perempuan-perempuan lainnya dengan jangkauan yang
lebih luas lagi. Seperti yang diketahui, Kartini berprinsip tentang kemajuan
pekerti seorang wanita adalah dengan tidak memberikan kesempatan bagi
seseorang untuk memperlakukan wanita
sebagai properti. Termasuk untuk urusan dimadu. Namun pada akhirnya Kartini
rela kembali menjadi perempuan jawa yang mau dimadu dengan syarat sang suami yang
telah memiliki tiga istri harus memberikan dukungan penuh atas sekolah pribumi
yang akan diusahakannya bersama adik-adiknya;
Kelima, Kartini adalah
salah satu pemantik dan penggagas dari kalangan-kalangan terpelajar bumiputera
untuk dapat memperjuangkan kebebasan dengan cara selain mengangkat senjata yang
memberi andil dalam perjuangan di awal abad ke-20 di Hindia Belanda.
Pada akhirnya sosok Kartini dan Keluarganya
telah memberikan banyak sekali insipirasi bagi saya. Perayaan Hari Kartini mari
kita maknai tidak hanya sesempit emansipasi wanita, tapi lebih dalam lagi
tentang bagaimana cara membentuk keluarga, bagaimana cara berprinsip dan
memegangnya, ketulusan dan pengorbanan untuk kepentingan khalayak yang lebih
luas, memajukan pola pikir sehingga tidak tertinggal karena kungkungan tradisi,
serta cara untuk tetap survive di dunia yang senantiasa bergerak dinamis.
Selamat merayakan kebebasan berpikir dan berkarya!
Foto bareng Daun Semanggi van Jepara di The Legend Star, Jawa Timur Park III |
Komentar
Posting Komentar