Pesawat bermanuver miring ke kiri. Cahaya benderang pun menyeruak masuk ke relung kabin yang membuatku terbangun secara paksa. Ku tengok ke luar jendela, mataku dibuat terkagum-kagum. Pesawat terbang merendah, melintas di atas hamparan pulau-pulau kecil yang semburat berjajar tak beraturan. Dataran-dataran berwarna hijau yang dipercantik dengan garis putih yang mengelilingi daratan itu saya pastikan akan membuat orang-orang yang belum pernah melihatnya tersenyum girang.
Deretan pulau-pulau kecil yang tampak sebelum pesawat mendarat di Bandara Internasional Mactan-Cebu |
Ditengah kekhidmatanku mengagumi untaian pulau di hamparan permadani biru, kekhusyukanku ambyar oleh suara derap kaki dua orang pramugari yang terburu-buru menyeruduk ke lorong kabin. Kuamati mereka satu-per-satu. Satu orang membawa kantung berisi sesuatu, satunya lagi membawa tumpukan kertas berwarna kuning. Si pramugari pembawa tumpukan kertas menyodorkan dokumen ke semua penumpang berupa customs declaration, arrival card, dan satu lagi yang sebelumnya kutandai berwarna kuning, health declaration check list. Dokumen-dokumen umum bagi pelintas batas, walaupun dokumen terakhir cukup baru bagiku. belum pernah kuterima dokumen sejenis dari beberapa negara di Asia yang pernah kukunjungi. beberapa detik kemudian datang pramugari satunya lagi. Cukup sumringah raut mukanya. Dia rogoh sesuatu dari kantung yang ia bawa. Dijulurkan tangannya ke arahku seraya memberikan sesuatu. "Happy Sinulog....!!", serunya yang dibarengi dengan indah senyum manisnya. Ah, senang sekali dibuatnya, walaupun kejadian itu hanya terjadi dalam beberapa detik. Tanpa pamit ia pergi dan melakukan hal yang sama kepada penumpang lain. Di tanganku kuterima buku saku kecil berjudul "Air*sia Red Hot Sinulog Kit" disertai peluit yang diikat dalam satu kesatuan menyerupai kalung dengan warna seragam, merah cerah. Meriah sekali benakku. Kemeriahan pesta sudah terasa, bahkan sebelum pesawat yang membawaku ke kota pesta itu mendarat.
Sinulog adalah Festival Katolik tahunan yang dirayakan di kota Cebu. Perayaan ini biasa diselenggarakan pada minggu ke tiga di bulan Januari. Hal yang identik dengan perayaan ini adalah viesta, sebuah pesta jalanan yang berlangsung meriah sepanjang hari, dipenuhi parade penari jalanan yang diiringi tabuhan musik perkusi. Masing-masing penampil akan berusaha merebut perhatian khalayak dengan memamerkan kelincahan, orisinalitas koreografi dengan kostum warna-warni serta unik dan autentik. Perayaan yang pada mulanya berpusat di gereja utama di kota Cebu, Basilica Minore Del Santo Nino -salah satu gereja tertua di Filipina yang merupakan penanda awal mula masuknya agama katolik di kepulauan ini- kini telah bertransformasi menjadi sebuah perayaan yang dilakukan tidak hanya untuk perayaan keagamaan semata, namun telah meluas menjadi pekan perayaan pesta pora sampai ke jalanan dan klub malam. Penikmatnya pun bukan hanya warga lokal, namun banyak warga penggila pesta datang dari pulau-pulau lain di Filipina bahkan warga asing yang berasal dari bebagai macam negara. Dan saya termasuk diantara salah satunya.
Penampilan dari salah satu grup peserta Sinulog Viesta yang diadakan dijalalan Kota Cebu, Filipina |
Pesawat mendarat cukup mulus di Mactan-Cebu Airport. Bandara yang cukup mungil kala itu jika disandingkan dengan statusnya sebagai bandara kota terbesar ke-dua di Filipina. Mungkin jika disandingkan dengan Bandara Juanda di Surabaya, bandara ini tidak ada apa-apanya. bahkan lebih megah bandara intenasional lombok menurutku walaupun secara kapasitas bandara Mactan lebih besar dari pada BIL (saat ini bandara telah di-upgrade dengan gaya yang lebih modern dan kapasitas yang lebih besar).
Mendarat di Mactan-Cebu International Airport |
Kugendong ransel ukuran 35 liter ku sambil jalan mengikuti rombongan menyusuri lorong kedatangan. Kesan pertama melihat apa yang ada di sekitar membuatku merasa nyaman. manusianya, suasananya, corak bangunannya, dan hangatnya udara sore itu membuatku merasa tidak asing di tengah rasa hati yang berkecamuk mengingat perjalananku pertama kali seorang diri ke luar negeri. Di ujung lorong kuturuni lantai dengan bantuan eskalator yang langsung dihadang sebuah ruangan yang tidak telalu lebar dengan kerumunan manusia yang terpencar duduk tak beraturan di lantai ruangan itu. Ruang yang disediakan untuk mengisi dokumen kedatangan sebelum maju ke antrian imigrasi, tidak disediakan dengan cukup. Di tengah kerumunan orang dan beraneka bahasa berseliweran, kudengar agak lirih suara kelompok manusia yang bertutur menggunakan bahasa yang bagiku sangat familiar. Mereka bertutur menggunakan bahasa Indonesia dengan logat yang mirip sekali dengan logat teman-teman kuliahku yang berasal dari Jawa Barat. Kudatangi mereka ke sudut ruang lesehan dadakan itu. Ternyata benar, tiga orang itu berasal dari Bandung. Mereka akan tinggal di Cebu selama empat hari sebelum bertolak ke Bohol -sebuah pulau yang berada tidak jauh dari pulau Cebu-. Agendanya sama, untuk menikmati hingar-bingar kota saat Sinulog berlangsung. Mereka sudah well-prepared untuk semuanya, termasuk penginapan dan rencana perjalanan. Berbeda denganku yang berangkat dengan perencanaan minim yang hanya mengandalkan bantuan offline map dan aplikasi couchsurfing yang sudah ku-download sejak di Indonesia. booking hotel? Nggak, aku sudah dapat host, alias warga lokal yang mau menampung pejalan nggak "bondo" semacam aku di kota itu. Awalnya kupikir dengan mencari "kawan" senegara, harapku agar bisa keliling kota Cebu dengan budget yang bisa sedikit lebih ditekan dengan cara berbagi biaya. Namun kenyataannya jadwal kami berbeda, walhasil kita berpisah di pertemuan yang pertama.
Figur Santo Nino di salah satu
sudut Bandara Mactan-Cebu
|
Melewati pemeriksaan imigrasi di bandara Mactan tidak perlu waktu yang lama, mengingat antrian sore itu hanya berasal dari penerbangan kami. di luar area imigrasi suasana Sinulog sedikit lebih terasa dengan bantuan visual yang berasal dari hiasan-hiasan ornamen khas yang dipajang di hall kedatangan dengan maskot utama "santo Nino". Buru-buru kulangkahkan kaki ke kios-kios yang berjajar di tepian hall kedatangan. Kios-kios ini menawarkan jualan serupa walau nama tak sama. Simcard lokal dijual dengan berbagai paket dan merek. Harga menjadi magnet yang menarikku secara spontan. Apalagi yang dipikir pejalan dengan kantong cekak sepertiku. Bagiku yang terpenting adalah harga paket internet termurah dan dapat digunakan selama seminggu ke depan, tanpa peduli operatornya apa. Toh juga yang akan kukunjungi adalah kota-kota besar di sini. Kujatuhkan pilihanku pada Gl*be sim card yang punya produk traveler package seharga 500 Piso. Di dalamnya sudah termasuk paket internet sebesar 1 GB untuk 7 hari dan pulsa senilai 200 Piso, cukup murah dibanding simcard dari operator yang lain yang dijajakan di bandara itu. Cukup untukku yang hanya punya waktu delapan hari melancong di negara ini.
Usai dengan urusan simcard lokal, kulangkahkan kaki keluar bandara. Saat pintu keluar terbuka, udara menyapu muka dengan hangatnya. Kususuri selasar bandara dari bagian depan area kedatangan internasional menuju ke arah area kedatangan domestik. Kuikuti petunjuk yang telah kubaca sebelumnya dari informasi di internet. Sekitar dua ratus meter dari tempatku beranjak, sudah tampak sesuatu yang kucari. angkutan umum sejenis angkot berwarna kuning (yellow multicab). Ini adalah opsi termurah untuk menuju pusat kota, katanya. kutunggu di dalam angkutan massal berwarna kuning itu bersama sekitar enam orang lainnya. Kami semua duduk saling berhadapan memanjang mengikuti badan mobil. Tiada sepatah katapun, hanya saling melempar pandangan dan saling menjatuhkan raut gelisah karena menunggu. Lima belas menit kemudian datang dua penumpang lain seraya membungkuk masuk melalui satu-satunya pintu penumpang yang berada di buritan mobil. Mobil sudah penuh, sopir mulai menyalakan mesin dan siap membawa kami keluar dari area bandara.
Susana di dalam angkutan multicab |
Sambil melihat map, kupastikan kendaraan yang kutumpangi melaju ke arah yang seharusnya, menuju pusat kota Cebu, Magellan Cross -sebuah salib penanda titik pusat kota ini-. kendaraan menyusuri jalanan di pesisir utara pulau mactan. sejauh ini laju kendaraan sudah benar. untuk menuju pusat kota cebu, dari mactan harus menyeberangi Marcello Fernan Bridge, jembatan yang menghubungkan pulau Mactan dengan pulau Cebu dari sisi timur. Sampai di petigaan dengan belokan ke kiri yang menuju kaki jembatan, ternyata kendaraan yang kutumpangi masih melaju terus. Oh, mungkin menyeberang dari sisi barat melalui jembatan satunya -Osmena Bridge- pikirku. Namun sesampainya di titik persimpangan menuju jembatan kedua, mobil tidak juga berbelok. di sini saya mulai sadar jika saya menaiki angkutan yang salah. saya salah membaca informasi. Seharusnya turun di pertigaan Marina Mall yang terlewati sebelum persimpagan jembatan pertama untuk mengambil angkutan lain menuju cebu. saya justru terus naik angkutan yang saya tumpangi sejak dari bandara. tidak buru-buru beranjak dari tempat duduk, saya coba lihat map sekali lagi, dan tepat di ujung barat pulau Mactan, kutemukan adanya pelabuhan penyebrangan Mactan-Cebu. entah ada jadwal penyeberangan atau tidak sore itu, saya coba dulu untuk ke sana. Itung-itung menikmati sore di atas dek kapal di antara dua pulau baru itu, kupikir akan menjadi kenangan yang menyenangkan.
Kusodorkan pecahan uang 100 piso ke sopir setelah dia meminta untuk dibayar 20 piso. Kuterima kembalian dan kukeluarkan kamera kecilku untuk mengabadikan susana semarak di pelabuhan itu. gerbang pelabuhan dihias kertas perca warna-warni. Kertas ditempel memanjang di utas-utas tali dan digantung di atas lorong menciptakan tudung-tudung unik menggelayut di atas antrian calon penumpang. Sesaat setelah beberapa lama saya mengamati keadaan sekitar, muncul pesan di whatsapp-ku, pesan dari host yang bersedia membagi sejengkal ruangannya untuk kugunakan tidur di beberapa malam berikutnya. Dia tanyakan posisiku saat itu dan kuceritakan pengalaman "kesasar"ku. Kuceritakan tujuanku sore itu untuk mengunjungi magellan cross, benteng San Pedro, dan juga gereja Basilica Santo Nino dengan menyebrang melalui angkutan kapal penyeberangan dari pelabuhan di mana kuberada saat itu. Dia buru-buru memintaku untuk kembali ke arah Marcello Fernan Bridge dan menyuruhku mengambil angkutan jeepney ke arah Mandaue, daerah di mana dia tinggal. Dia mengundangku makan malam bersama "kakak perempuannya" pemilik bangunan semi apartemen di salah satu sudut kota Mandaue. Sebelum kuputuskan kembali, kucoba untuk mencari jadwal keberangkatan kapal di dekat loket karcis penyeberangan. Aku hanya masih belum rela dengan perubahan planning untuk menikamati sore di selat antara Pulau Mactan dan Pulau Cebu itu. Buru-buru kutanyakan kepada petugas loket yang menjual karcis kapal penyeberangan. Dibilangnya kapal ferry akan datang setiap 30 menit sekali. Namun saya sudah berdiri di sana lebih dari waktu yang dia bilang dan kapal belum juga datang. Ditambah pula antrian penumpang yang lumayan mengular di sore itu. Keinginanku kalah dengan ketidakpastian. Kuputuskan untuk segara menuju tampat tinggal host -ku.
Kususuri jalanan sesuai petunjuk dari seorang anak seumuran anak SMP. Aku berjalan dari pelabuhan ferry menuju perempatan Pasar Lapu-Lapu, tempat di mana bisa kucari angkutan umum menuju Mandaue. Sesampainya di persimpangan itu, kudapati pemandangan yang sangat Indonesia sekali. Pasar dengan toko-toko berjajar semrawut, luberan pedagang hingga ke badan jalan, berenteng-renteng barang dagangan yang digantung pada seutas tali, serta deretan barang yang dipajang di rak-rak toko mengingatkanku pasar di kampung halaman. Serupa, hanya saja beda negara.
Teriakan dari seseorang mengakhiri pengamatanku pada salah satu sudut persimpangan jalan di Pasar Lapu-Lapu. Seorang pemuda berpakaian sedikit lusuh memanggil-manggil dengan bahasa lokal. Ia bergelantungan di buritan minivan dengan satu tangan melambai-lambai memanggil para calon penumpang kendaraan umum milik bos-nya. Serta merta aku teriak "Mandaue?". Tanpa ba-bi-bu ia segera menarik lenganku untuk segera masuk ke kendaraan yang sudah butut dan lapuk itu. Kendaraan segera melaju dengan penumpang yang tidak seberapa banyak. Hanya selang lima menit, kendaraan berbelok ke kanan. Kendaraan memasuki area sedikit lapang di mana kendaraan-kendaraan sejenis dengan warna yang beraneka rupa juga berkumpul di situ. Buru-buru di kondektur lusuh bilang untuk pindah kendaraan untuk menuju Mandaue. Dia hanya meminta 8 piso untuk perjalanan singkat itu. Dia menggeretku ke angkutan lain yang sudah berada di luar area terminal dan siap berangkat menuju Mandaue. Baik juga pikirku orang-orang lokal di sini.
Senja menyapa di ufuk barat ketika jeepney menyusuri jembatan penghubung kedua pulau. Ditemani oleh ibu-ibu yang cukup penasaran dengan keberadaan orang asing sepertiku yang memiliki wajah hampir serupa dengan mereka pada umumnya. Anak-anak kecil tak ketinggalan menyapa dan senyum-senyum sendiri seraya mempertontonkan barisan gigi-giginya yang tidak lengkap terpasang semua di gusi-gusinya. Hatiku girang dengan sambutan yang kurasa sama sekali tidak mengecewakan dari pertemuan pertamaku dengan negeri bernama Filipina.
My Travel Memory of January 16th 2016
Komentar
Posting Komentar